BANGKALAN, - PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) telah mengembangkan berbagai program pengembangan masyarakat. Di antaranya adalah program Ekowisata Pesisir Labuhan, program wisata pantai pasir putih Tlangoh, Edufarming Bandang Daja, Program Inovasi Produk, Program Produk Olahan Kelompok Pertanian, dan Program Eco Edutourism berbasis Komunitas.
SKEMA PLTH
Salah satu program pengembangan masyarakat oleh PHE WMO adalah program Ekowisata Pesisir Labuhan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Program ini berfokus pada konservasi lingkungan, mengatasi abrasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
Latar belakang dari program ini adalah masalah kerusakan lingkungan yang menyebabkan abrasi dan penurunan pendapatan nelayan setempat. PHE WMO terdorong untuk menjalankan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan, dengan tujuan memperbaiki kondisi lingkungan pesisir dan meningkatkan taraf ekonomi serta sosial masyarakat setempat.
Baca juga:
Satpol PP Padang Amankan 5 Pemandu Karaoke
|
Sejak 2014, berbagai kegiatan konservasi telah dilakukan oleh PHE WMO, seperti penanaman lebih dari 76.000 bibit mangrove dan konservasi terumbu karang yang berhasil menambah spesies fauna akuatik hingga 36 spesies. Dampaknya, pendapatan kelompok pengelola jasa wisata dan UKM meningkat hingga Rp 4 juta per bulan, serta Labuhan menjadi pusat penelitian ekowisata pesisir.
Zonasi wilayah pesisir di Labuhan, yang terdiri dari mangrove, lamun, dan terumbu karang, menjadi ekosistem utama yang harus dijaga untuk keberlanjutan lingkungan. Menurut Sambu (2018), kerusakan pada salah satu ekosistem pesisir akan berdampak pada ekosistem lainnya. Labuhan sendiri mengalami kerusakan mangrove yang signifikan, dengan 10, 8 hektare area mangrove rusak, sementara 13 hektare lainnya masih dalam kondisi baik. Kondisi ini mengakibatkan abrasi pantai yang terus meningkat setiap tahunnya.
Tidak hanya abrasi, kerusakan lingkungan ini juga berdampak pada kehidupan nelayan. Penurunan populasi ikan dan hewan laut lainnya menyebabkan hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Jarak tempuh untuk mencari ikan pun bertambah jauh, sehingga pendapatan nelayan Labuhan semakin berkurang.
PHE WMO juga menghadapi tantangan lain berupa ketidakpahaman masyarakat tentang pentingnya mangrove dan terumbu karang. Penebangan mangrove untuk kayu bakar dan pengambilan daun muda untuk pakan ternak menjadi masalah serius. Selain itu, penangkapan ikan dengan cara yang merusak, seperti penggunaan troll dan bom, memperparah kerusakan terumbu karang.
Namun, dengan adanya sosok inspiratif seperti Sahril (52 tahun), warga setempat yang pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kini menjadi aktivis lingkungan, kesadaran masyarakat perlahan meningkat. Sahril aktif mengampanyekan konservasi mangrove dan melarang penebangan mangrove jenis Sentigi (Pemphis acidula), yang sering diburu untuk pembuatan bonsai dan jimat. Keaktifannya dalam menyebarkan pengetahuan tentang konservasi lingkungan telah diakui secara luas, terbukti dengan lebih dari 100 kali diundang menjadi pembicara di berbagai forum lokal dan nasional.
Pengembangan Ekowisata Pesisir Labuhan tidak hanya berfokus pada konservasi, tetapi juga pendidikan dan budaya. Program ini telah menjadikan Labuhan sebagai lokasi penelitian dan edukasi lingkungan, serta memperkenalkan inovasi seperti transplantasi terumbu karang dengan modul Honai dan edukasi terumbu karang menggunakan diorama.
Kesuksesan program ini juga diakui melalui berbagai penghargaan yang diterima, termasuk Local Hero Award Kategori Hijau 2016 dan Local Hero Terbaik 1 pada Indonesian SDGs Award 2021.
“Salah satu bantuan yang kami terima selain dari program Eco Eduwisata Pesisir Labuhan ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida, yakni perpaduan solar sel, turbin angin, dan aliran listrik dari PLN, ” tutur Sahril pada Kamis (15/08/2024) siang.
Menurutnya, PLTH ini sangat membantu meringankan beban pengeluaran kelompok. PLTH ini mampu menerangi seluruh bangunan dan tempat wisata tersebut. Saat aliran listrik padam, PLTH secara otomatis akan aktif dan dapat dipantau langsung dari handphone miliknya.
“Fungsinya (PLTH) sangat bermanfaat, jadi sebelum ada solar sel, pembiayaan untuk kas kami itu tinggi. Setiap bulan bisa mencapai Rp 700.000, kadang bisa lebih juga, tergantung dari yang menggunakan Ekoeduwisata ini. Karena setiap tahun, yang menggunakan untuk kemah dan kegiatan lapangan di lokasi ini semakin meningkat, baik dari organisasi kemahasiswaan maupun organisasi lainnya. Jadi, ada catatannya di kami. Tiap bulan itu ada 15 sampai 20 lembaga yang terdaftar di kami untuk menggunakan fasilitas ini, sehingga penggunaan energi listrik sangat tinggi, ” sambungnya.
“Setelah ada PLTH ini, biaya untuk membeli token listrik tidak terlalu besar karena dibantu dari PLTH ini. Biasanya kami habis Rp 700.000, setelah ada solar sel ini kami hanya membeli token sebesar Rp 100.000 saja, itu pun tidak habis, tokennya masih ada tersisa. Selain itu, saat musim penghujan, aliran listrik PLN ini sering padam karena faktor cuaca dan jarak sambungan kabel jaringan PLN yang jauh. Nah, kalau pas saat itu ada kegiatan, karena sudah ada PLTH ini, secara otomatis berfungsi, ” lanjutnya.
“Dikarenakan ada beberapa baterai yang rusak, kami berharap ada tindak lanjut pada permohonan yang telah kami laporkan untuk penggantian baterai, supaya dapat berfungsi normal kembali, ” harapnya mengakhiri.
Dengan berbagai pencapaian ini, PHE WMO terus berupaya memperkuat kerja sama dengan pemerintah dan berbagai pihak untuk memastikan keberlanjutan program, sekaligus meminimalisir konflik melalui transparansi dan penguatan kelembagaan. Program Ekowisata Pesisir Labuhan diharapkan menjadi contoh sukses dalam pengelolaan lingkungan berbasis komunitas yang berkelanjutan.